Beranda | Artikel
Kesepakatan Akad Jual Beli Kredit
Jumat, 2 Agustus 2013

KESEPAKATAN AKAD JUAL BELI KREDIT

Syaikh Shâlih Fauzân bin `Abdillâh al-Fauzân hafizhahullâh ditanya, “Sebagian perusahaan kredit (selanjutnya disebut kreditor-pent) meminta kepada sebagian karyawan (selanjutnya disebut debitor, nasabah atau penerima kredit-pent) untuk memiliki barang atau mobil yang ingin dibelinya. Setelah terjadi kesepakatan harga antara nasabah dengan kreditor, kemudian kreditor pergi membeli barang tersebut. Setelah kreditor menerima barang atau kendaraan itu, dia lalu menyerahkannya ke nasabah yang ingin membelinya tadi sambil menerima angsuran pertama. (Pertanyaannya-pent), apakah jual-beli model ini termasuk menjual sesuatu yang bukan milik si penjual? Jika ya, apakah ini termasuk riba ataukah hanya jual beli yang tidak sesuai syari’at tapi tidak termasuk riba? Apakah hukumnya akan berbeda, jika kreditor sudah ada kesepakatan dengan pemilik barang untuk membelikan barang apa saja yang diinginkan oleh nasabah dengan cara kredit ? Jazâkumullâh khairan

Beliau hafizhahullâh menjawab:
Dalam jual-beli dengan cara kredit, status barang (yang ingin dikreditkan-pent) harus sudah berada dalam kepemilikan si penjual sebelum terjadi akad. Kreditor tidak boleh mengadakan kesepakatan akad dengan seorang pembeli kecuali jika barang sudah menjadi miliknya.

Kejadian yang diceritakan dalam pertanyaan ini yaitu perusahaan kreditor sudah mengadakan kesepakatan dengan si pembeli bahkan sudah menerima angsuran pertama kemudian baru pergi mencari barang yang sudah disepakati dan baru diserahkan ke pembeli. Perbuatan seperti ini tidak benar dan akad ini batal. Berdasarkan sabda Rasulullâh n kepada Hâkim bin Hizâm Radhiyallahu anhu :

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Jangan engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu [HR. at-Tirmidzi, an-Nasâ`i, Abu Dâwud]

Akad yang disebutkan ini termasuk menjual sesuatu yang bukan miliknya. Ini bathil karena juga termasuk menjual hutang dengan hutang yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jual-beli ini juga tidak bisa disebut dengan bai’u maushûfin fidz Dzimmah (jual beli dengan sistem memesan barang dengan kriteria tertentu yang sudah disepakati-pent), karena syarat sah dalam jual beli sistem ini, harga harus dibayarkan kontan pada saat akad, sementara dalam akad di atas pembayarannya di tunda, baru diserahkan separuh. Ini berarti menjual hutang dengan hutang. Karena semua yang belum bisa diserahkan dalam jual-beli sistem pesan ini dianggap hutang.

Hukum permasalahan seperti ini tidak akan berbeda meskipun kreditor (dalam hal ini perusahaan) sudah ada nota kesepakatan dengan pemilik barang untuk membeli barang ketika ada nasabah yang datang meminta. Kesepakatan antara perusahaan dengan pemilik barang ini tidak bisa merubah status kepemilikan barang menjadi milik kreditor sehingga bisa dijual. Barang masih tetap milik yang punya pertama. Jadi kreditor benar-benar harus membeli barang tersebut dan menjadikan barang tersebut sepenuhnya milik perusahaan, lalu setelah itu baru bisa dijual kepada nasabah dengan cara kredit.

Untuk para pelaku ini kami wasiatkan, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, berpegang dengan ketentuan-ketentuan syari’at jika hendak menjual sesuatu dengan cara di kredit kepada yang membutuhkan. Hendaklah barang yang hendak dijual itu benar-benar sudah berada di tempat mereka sebelum terjadi akad.

Wallâhul Muwaffiq

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3688-mengemis-dan-meminta-sumbangan-dalam-perspektif-hukum-islam.html